Masih teringat dengan jelas bagaimana perjuangan garuda muda di Stadion Utama Gelora Bung Karno dalam final sepakbola pesta olahraga Asia Tenggara Sea Games kali ini. Perjuangan untuk bisa membuat tim nasional sepakbola Indonesia meraih gelar juara yang sudah sangat dirindukan rakyat Indonesia. Walaupun perhelatan Sea Games diisi oleh tunas muda garuda, namun tidak mengurangi prestise dan antusias dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana stadion penuh sesak oleh para pendukung yang khusu datang untuk mendukung para garuda-garuda muda bahkan masih banyak suporter yang ingin menonton langsung namun tidak dapat dilakukan karena tiket habis dalam beberapa jam saja. Hal ini dari akibat permainan menarik selama Sea games berlangsung.
Permainan menarik selama Sea Games kali ini pun menumbuhkan harapan rakyat Indonesia kepada tim nasional kembali. Sempat sangat bergairah setelah menjadi runner up di AFF januari 2011, tim nasional senior kembali terpuruk setelah gagal total di ajang kualifikasi Piala Dunia 2014. Kegagalan ini ditenggarai beberapa pihak karena keputusan PSSI baru yang memutus kontrak dengan Alfred Riedl dan digantikan dengan Wim Rijsbergen yang belakangan dipertanyakan kualitasnya. Keputusan yang terkesan tergesa-gesa ini pun dinilai banyak pihak lebih berbau politis dibandingkan hal-hal teknis sepakbola.
Harapan dengan prestasi yang tinggi kini pun berada di pundak generasi baru pemain tim nasional. Namun, untuk membentuk tim nasional yang berprestasi tentu saja harus ditunjang dengan faktor-faktor teknis seperti pembinaan dan kompetisi yang baik serta dijauhkan dari politasasi terhadap tim nasional.
Masih lekat dipikiran kita saat tim Nasional ditengah perjuangan menjadi juara piala AFF diajak untuk makan siang oleh salah satu ketua umum partai di masa PSSI masih diketuai oleh Nurdin Halid. Hal yang mendapat sorotan dari publik dan dikritik termasuk oleh pelatih Alfred Riedl serta Kapten Bambang Pamungkas kala itu. Seperti tidak dijadikan pelajaran, PSSI baru yang diketuai Prof.Djohar Arifin ini menggelar “selametan” dan pembagian bonus di tempat Arifin Panigoro, seorang pengusaha dan salah calon ketua PSSI yang tidak diizinkan untuk mencalonkan oleh FIFA. Masyarakat pun menilai terdapat motif dibalik kejadian ini.
Sangat disayangkan apabila tim nasional sepakbola Indonesia yang memang menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia ini dipolitisasi oleh pihak yang seharusnya melindungi dari hal-hal non-teknis. Terlebih lagi, ditujukan kepada para punggawa garuda muda yang diisyaratkan menjadi tunas untuk tim nasional untuk tingkat senior.
Kongres PSSI yang sempat kisruh dan terjadi beberapa kali memang diharapkan agar dapat bisa mengevaluasi, memperbaiki, dan menciptakan iklim sepakbola Indonesia yang baik yang berujung dengan prestasi tim nasional di kancah internasional. Menjadi kurang bijak apabila PSSI mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PSSI sebelumnya yang bisa berakibat fatal untuk kemajuan tim nasional itu sendiri.
Dualisme Kompetisi
Selain tim nasional, salah satu hal yang sangat disoroti publik dewasa ini adalah kompetisi atau liga. Karena untuk membentuk tim nasional yang baik dibutuhkan kompetisi yang baik dan sistematis. Garuda muda yang tampil di Sea Games lalu juga merupakan hasil dari kompetisi, dimana pemain-pemainnya merupakan pemain kunci dari klub yang mengikuti Liga yang dibentuk PSSI. Seperti Egi Melgiansyah yang juga kapten Pelita Jaya, Tibo yang menjadi striker persipura, Kurnia Meiga yang menjaga gawang Arema serta Patrich Wanggai yang membuat Persidafon promosi ke level tertinggi.
Seperti tidak belajar, PSSI pinpinan Djohar Arifin ini kembali mengulangi kesalahan dari PSSI sebelumnya yang membiarkan terjadi dualisme kompetisi. Apabila pada masa PSSI sebelumnya, terdapat Liga Super (ISL) dibawah PSSI dan kemudian Arifin Panigoro dkk mendirikan Liga Primer (LPI) sebagai liga tandingan, kali ini ketua umum PSSI, Djohar Arifin dan dengan beberapa anggota exco menghapus ISL dari struktur liga resmi PSSI dan menunjuk Liga primer Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai liga resmi dibawahnya dan membuat banyak keputusan mengejutkan, salah satunya dengan membuat jumlah peserta menjadi 24. Jumlah yang sangat banyak untuk satu musim kompetisi. Banyak pengamat pun mengatakan lagi-lagi keputusan-keptusan ini lebih berbau politis dibandingkan segi teknis.
Menilai liga yang akan diselanggarakan LPIS kurang baik, beberapa klub professional pun bersama-sama membentuk kembali liga super dibawah PT LI. Klub Persipura, Persisam, Sriwijaya dan klub-klub profesional lain pun lebih memilih ISL ketimbang LPI. Lagi-lagi kesalahan PSSI terulang, dan sekali lagi lebih berbau politis dibanding dengan faktor teknis untuk memperbaiki sistem kompetisi Indonesia. Tanpa menilai liga mana yang lebih baik, sebaiknya PSSI kembali menjadi lembaga independen yang bertujuan untuk memajukan sepakbola Indonesia. Membuat kompetisi yang baik dan sistematis. Kegagalan PSSI menangani kompetisi terhadap dualisme kompetisi bisa menjadi bumerang dan menghancurkan persepakbolaan Indonesia itu sendiri.
Timnas Tertutup untuk ISL
Imbas dari kegagalan PSSI menyatukan dualisme kompetisi ini pun memasuki babak baru. Dimana seolah-olah memang PSSI tidak mau belajar dari PSSI periode sebelumnya dengan melarang pemain untuk bergabung tim Nasional Indonesia bagi pemain yang bermain untuk klub ISL.
Apabila pengamat menilai bahwa tim Indonesia Selection yang menghadapi LA Galaxy beberapa waktu lalu sebagai acuan bentuk tim nasional kedepan, maka dengan pelarangan ini berarti hanya Kurnia Meiga dan Andik Vermansyah yang dapat bermain untuk Tim Nasional.
Masyarakat yang kembali memiliki harapan pun dipastikan akan kembali kecewa bagaimana beberapa bintang baru seperti Egi Melgiansyah, Tibo, dan Patrich Wanggai bahkan pemain naturalisasi Diego Michels tidak bisa bergabung dengan timnas. Hal yang sangat disayangkan karena akibat ego dari beberapa pihak mengorbankan nasionalisme seluruh rakyat Indonesia.
Sepakbola bukan olahraga biasa. Sepakbola bisa membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia dan dapat pula mempersatukan rakyat Indonesia. Sudah sepatutnya pemegang kebijakan tertinggi sepak bola Indonesia, PSSI, menghentikan politisasi terhadap sepak bola dalam bentuk apapun. Baik yang ditujukan untuk tim nasional Indonesia maupun terhadap dualism kompetisi yang sedikit banyak akan mempengaruhi penampilan tim nasional itu sendiri. PSSI pun diharapkan kembali menjadi independen dan objektif tanpa diboncengi kepentingan-kepentingan lain. Selain itu, PSSI pimpinan Djohar Arifin ini dapat belajar dari kesalahan PSSI sebelumnya dan membuat kebijakan yang memperbaiki persepakbolaan Indonesia dan membuat Indonesia kembali menjadi macan asia.
-mdskribo-
22 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar