Jumat, 06 Januari 2012

cerpen pertama


Cerpen

"Muhammad Ardi?" teriak Ibu Nur, guru SMP kelas IX saat mengabsen siswanya, lembut namun terdengar tegas, kebiasaan yang sudah dimulai dari tahun pertama beliau mengajar. Absen diakhir jam pelajaran. "Saya, Bu." terdengar suara jawaban sambil mengacungkan tangan sopan. Melihat wajahnya yang polos namun jauh lebih legam dari terakhir Ardi masuk sekolah, ingin sekali Ibu Nur menginterogasinya karena sudah beberapa minggu terakhir Ardi sering sekali tidak masuk. Ya, tepatnya dalam 2 bulan terakhir Ardi hanya masuk sekolah beberapa kali. Namun, niatan itu diacuhkan Ibu Nur dan kembali melanjutkan absen yang sekaligus menutup kelas hari itu. "Oke anak-anak, sekian kelas hari ini, tolong Ardi menghadap ibu setelah ini." Begitu suara lembut Ibu guru yang sebelum ucapannya selesai disela oleh suara lonceng sekolah, yang berarti jam pulang sekolah. Dan anak-anak itu pun berhamburan keluar kecuali Ardi yang agak tertunduk malu kepada Ibu gurunya.

***

Setelah keluar kelas, Ardi yang menjadi juara sekolah selama 2 tahun berturu-turut, langsung berjalan ke ruang Ibu Nur. Memang dalam beberapa minggu terakhir ia jarang sekali masuk. Bahkan dalam beberapa waktu, seminggu penuh dilalui tanpa sekalipun masuk sekolah. Ardi pun tak heran jika akhirnya ia dipanggil oleh wali kelasnya itu.

"Permisi, Bu." terdengar suara pelan diiringi suara ketukan pintu.
"Masuk, Nak." jawab ibu guru Bahasa Indonesia tersebut. "Silakan duduk."

Sambil duduk sang wali kelas bertanya,"Apakah kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?"

***

Setelah Ayahnya pergi entah ke mana meninggalkan keluarganya demi perempuan lain, Ardi si sulung mengambil alih tanggung jawab menjadi seorang kepala rumah tangga yang seharusnya belum menjadi tanggung jawabnya. Di saat teman seumurannya asyik bermain bola, Ardi sudah harus berfikir apa yang harus dilakukannya agar 3 orang adiknya bisa melanjutkan sekolah atau paling tidak untuk mereka makan.

***

"Ardi? Kamu mendengar pertanyaan Ibu?" sang wali kelas kini fokus menatap muridnya.
"Iya Bu, maaf. Saya tahu. Karena absensi saya kan?"
"Ada yang mau kamu ceritakan pada Ibu?"

***

Hari-hari pertama ditinggalkan ayahnya, Ibunya masih menjalani hari-harinya seperti biasa. Mencuci untuk orang lain. Bahkan dengan menambah jumlah majikan. Kini ibu Ardi mencuci untuk 3 rumah. Namun upahnya pun tiada mencukupi. Ibu Ardi tak ingin ada satu pun anaknya yang berhenti sekolah. Alhasil, ibu Ardi menjual sedikit demi sedikit harta yang mereka miliki. Walaupun tidak banyak harta yang mereka punya. TV hitam putih, radio, lemari jati peninggalan eyang, sedikit demi sedikit rumah mereka pun lebih lapang. Lebih tenang.

***

"Ibu yakin jika kamu cerita, pasti ibu akan bantu, apapun masalah kamu." Ibu guru itu berbicara seolah dengan anaknya sendiri. Ibu Nur memang sudah lebih dari 30 tahun mengajar. Tak ada yang dibedakan. Semua murid dianggap layaknya anaknya sendiri.
"Saya bingung Bu, mau cerita dari mana. Atau apakah memang seharusnya tidak diceritakan?"
"Ceritakanlah Nak, Allah akan membantu mengangkat kesulitan dengan cara apa saja. Tapi kita yang harus mencari jalannya. Bukan hal yang tak mungkin kalau Ibu merupakan salah satu jalannya."
Ardi tersenyum mendengarkan kata-kata wali kelasnya. Namun di hatinya masih tersisa keraguan untuk menceritakan hal yang sangat pribadi ini. Ardi menarik nafasnya dalam-dalam dan mencoba menegakkan kepalanya, Terlihat Ibu Nur tersenyum kepadanya. Lalu Ibu Nur berkata,"Ibu akan bantu semampu ibu, Percayalah nak."

***

Keseharian keluarga Ardi semakin sulit, sang Ibu mulai sakit reumatik dan tak tahan dengan dingin. Harta bendanya sudah habis terjual. Ardi pun mulai berani meminjam kepada kedua orang pamannya. Ardi belum tahu bagaimana cara membayarnya, yang ia tahu adiknya belum makan dan harus beli obat untuk ibunya. Beberapa kali ia mendapat pinjaman dengan cukup mudah. Tapi ia pun menyadari ini tak bisa terjadi terus menerus. Ardi pun mulai tidak masuk sekolah. Ia mulai bekerja serabutan agar ibunya bisa beristirahat dan adik-adiknya tetap bersekolah. Pagi-pagi sekali, Ardi sudah beredar di pasar. Bekerja serabutan. Apa saja dilakukannya. Menurutnya, asalkan halal, apapun dilakukan. Ia menyadari dengan baik, adik-adiknya tidak boleh putus sekolah. Walaupun dirinya sudah dua bulan tidak sekolah, adik-adiknya tetap sekolah biasa dan tetap bisa bermain seperti sedia kala. Ibunya sering protes agar Ardi tidak membolos. Ardi tak kuasa menjawab untuk menolaknya, karena perintah sang ibunya itulah yang membuatnya sesekali tetap masuk sekolah.

***

"Baik, sudah ibu dengar. Tak ada alasan lagi, besok kamu tetap masuk sekolah ya." Ibu Nur dengan lantang memberikan perintah.
"Saya sih mau bu, tapi bagaimana dengan adik-adik saya?" tanya Ardi getir.
"Mereka tetap sekolah, ibu akan bicarakan di rapat komite sekolah. Apakah ibumu masih bisa bekerja?"
"Saya rasa asalkan tidak terlalu sering mencuci dan tidak terlalu dingin ibu masih kuat, Bu." Ardi menjawab dengan sedikit memahami arah tujuan ibu gurunya ini.

***

Keesokan harinya, Ardi kembali dipanggil ke ruang gurunya. Ia heran, dari kaca depan terlihat di ruang guru itu terdapat semua guru termasuk kepala sekolah dan ibunya yang sedang berbicara santai. Sudah selesai rapat mungkin, pikirnya. Melihat muridnya berdiri di depan pintu, Ibu Nur langsung menyuruhnya masuk. Seketika ruangan menjadi hening. Ada apa gerangan?
"Baik Ardi, tadi Ibu Nur sudah mengajukan proposal untuk kamu dan ketiga adik-adik kamu. Kami pun sudah mencarikan orang tua asuh kalian untuk membiayai sekolah kalian. Bersyukurlah kamu, Nak." Ardi memperhatikan kata-kata Pak Kepala Sekolah dengan serius. Mendengar kata-kata itu,  Ardi mengeluarkan air mata haru. Allah selalu mendengar doa hambanya.
"Tidak hanya itu saja, mulai besok ibumu akan membuka kantin di sekolah dan mendapat pinjaman lunak untuk modalnya. Sekarang kamu harus fokus sekolah, jangan sampai gelar siswa terbaik sekolah tahun ini lepas dari tanganmu dan jangan lupa untuk tetap membantu ibumu." kata-kata pak kepala sekolah benar-benar menembus akal sehatnya. Ternyata mukjizat benar-benar ada bagi hamba Tuhan yang membutuhkan.
"Sekarang kembalilah ke kelasmu!" tambah Ibu Nur.

Ardi pun bergegas keluar. Sepanjang hari itu ia tidak berhenti bersyukur. Dia berjanji akan belajar sungguh-sungguh dan akan menjadi tulang punggung keluarganya kelak. Adik-adikku harus kuliah terbaik. Aku yakin. Walaupun sulit, Ardi yakin Tuhan selalu ada untuk hambanya yang membutuhkan.


***
TAMAT
mdskribo
28-09-2011
11:45

Editor: Sinta Artati K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar