Kamis, 06 Oktober 2011

Resensi Buku 99 Cahaya Di Langit Eropa

Judul               :  99 Cahaya Dilangit Eropa
Penulis            : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 412 Halaman                                   
Tahun              : 2011


Mungkin akan menjadi konspirasi apabila Eropa mengakui Napoleon beragama Islam, tetapi kedekatan beliau dengan Islam tak terbantahkan
Buku 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan suaminya Rangga Almahendra memiliki tema menapak jejak islam di Eropa. Buku ini berisi kisah-kisah perjalanan kedua penulis selama berada di Eropa. Hanum dan Rangga tinggal selama 3 tahun di Eropa saat Rangga mendapat beasiswa program doktoral di Universitas di Austria. keduanya berkesempatan menjelajahi eropa dan menemukan keindahan eropa yang tidak sekadar hanya Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma atau gondola-gondola di Venezia. Namun, mereka menemukan keindahan lain dari Eropa, mereka menjelajah sejarah dan menemukan bahwa Islam pernah berjaya di tanah itu.
Eropa dan islam pernah menjadi pasangan serasi. Namun, ketamakan manusia membuat dinasti itu runtuh. melalui buku ini, penuli ingin menceritakan tentang beberapa tempat dimana Islam mempunyai kisah yang cukup menarik didalamnya. kisah-kisah dari beberapa tempat didalamnya yang bisa membuat penulis dan pembaca enggan untuk melakukan kesalahan yang sama. tempat itu antara lain Wina (austria), Paris (Perancis), Granada dan Cordoba (Andalusia/Spanyol), dan Istanbul (turki).
Cerita berawal dari pertemuan Hanum dengan seorang muslimah Turki di kelas les bahasa Jerman  di Austria. Persaudaraan seiman membuat mereka cepat akrab apalagi di negara dengan islam sebagai minoritas. Muslimah Turki tersebut mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal menaklukkan Austria untuk memperluas kekuasaan Ottoman Turki dengan pedang dan perang. kini Muslimah itu ingin menyebarkan islam dengan menjadi agen islam yang baik dengan senyum dan kerendahan hati. Muslimah Turki itu pun mengisahkan bagaimana sang kakek moyang gagal menaklukkan wina (austria) dan menjadikan antiklimaks dari kejayaan Islam dinasti Ottoman. Muslimah itu pula yang menceritakan beberapa sejarah yang mungkin tidak banyak orang yang mengetahuinya. seperti roti croissant bukan dari Perancis, melainkan dari Austria sebagai lambang takluknya Turki dan Cappucino bukan dari Itali, namun dari Turki yang biji kopinya tertinggal ketika gagal menaklukkan Wina.
Hanum pun makin tertarik dengan saudara barunya dan tentang sejarah Islam lebih jauh. mereka pun bertekad untuk menapaki jejak Islam lainnya di Eropa. Namun, takdir berkata lain dan membuat Hanum hanya ditemani suaminya untuk menjelajahi tempat-tempat lain.
Tempat kedua yang diceritakan penulis adalah Paris, Perancis. kota ini dikenal City of lights, yang berarti pusat peradaban Eropa. Di Paris, Hanum bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepada penulis bahwa Eropa adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Seperti kufic-kufic pada keramik yang berada di musse louvre. Yang lebih mencengangkan Hanum, pada lukisan Bunda Maria dan Bayi Yesus, hijab yang dipakai Bunda Maria bertakhtakan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah.
Selain benda-benda 'kecil' didalam musee louvre, Marion juga memberi tahu tentang Voie Triomphale atau Jalan kemenangan yang dibuat Napoleon Bonaparte, tempat dua gerbang kemenangan (arc du triomphe) yang sangat megah. menurut Marion, bila ditarik garis lurus imajiner maka akan menghadap arah kiblat. Mungkin akan menjadi konspirasi apabila Eropa mengakui Napoleon beragama Islam, tp kedekatan beliau dengan Islam tak terbantahkan. Selain itu, Jenderal kepercayaan Napoleon, Francois Menou mengucapkan Syahadat setelah menaklukan mesir dan syariat-syariat islam juga menginspirasi Napoleonic Code.
Setelah ke Paris, mereka selanjutnya menjelajahi Cordoba dan Granada. Dua kota di andalusia yang menurut beberapa ahli adalah True City of Lights. Cordoba merupakan ibukota Andalusia dimana peradaban Eropa dimulai. pada kota ini berkembang ilmu pengetahuan dan menginspirasi kota-kota lain di Eropa. Pada masa keemasan itu, Cordoba bukan negara islam seluruhnya, namun toleransi antar agama menjadi suatu landasan kuat hingga menjadi kota yang sangat dikagumi sekaligu membuat iri kota-kota lai. di Cordoba terdapat Mezquita, yaitu masjid besar yang menjadi Kathedral setelah jatuh ke tangan Raja Ferdinand dan ratu Isabela. Sementara itu Granada adalah kota terakhir dimana islam takluk di daratan Eropa. di Granada terdapat benteng megah yang menjelaskan betapa megahnya Islam di masa keemasan.
Selanjutnya mereka berkesempatan menjelajahi Istanbul. Istanbul/konstatinopel adalah saksi sejarah di mana Islam pernah memiliki masa keemasan. Pada masa itu, luas wilayah Islam lebih luas dari kerajaan Romawi. Namun, di Turki tidak ditinggalkan istana yang megah, bukan karena tidak mampu melainkan karena Sultan mereka mencontohkan kesederhanaan. Sesuatu hal yang mulai dilupakan pemimpin-pemimpin saat ini. di Turki juga terdapat Hagia Sophia, bekas gereja besar dan sempat dijadikan masjid. Namun kini telah dijadikan museum oleh pemerintah Turki.
Perjalanan-perjalanan ini membuat penulis menemukan titik awal dan kembali menemukan tujuan hidupnya, Allah Swt. Penulis kemudian melakukan perjalanan Haji yang penuh khidmat.
Sebagai mantan jurnalis, buku ini diceritakan Hanum begitu mengalir dan indah. sama seperti buku perjalanan lainnya, buku ini juga mengajak kita untuk terlibat menjelajahi tempat-tempat itu suatu saat. namun, buku ini tidak mengajak dengan harga yang murah maupun sekadar tempat indah di Eropa, tetapi lebih ke perjalanan hati agar pembaca mengenal sejarah untuk membuat diri pembaca lebih baik pada khususnya dan Islam lebih baik pada umumnya.