Kamis, 15 Maret 2012

Waspada Kenaikan BBM

Tulisan ini sudah diterbitkan Bangka Pos pada Kamis, 15 Maret 2012



            Pemerintah sepertinya serius untuk menaikkan harga eceran untuk BBM bersubsidi seperti premium dan solar sebesar Rp. 1500,- per liter dari harga sebelumnya Rp. 4500,- menjadi Rp. 6.000,-  mulai 1 April 2012. Kenaikan ini dilandasi adanya kenaikan harga minyak mentah dunia sekaligus menjaga agar APBN tidak jebol karena subsidi yang melebihi anggaran awalnya. Tetapi kebijakan untuk menaikkan BBM ini tidak akan mudah, pasalnya hingga kini DPR belum menyetujui kenaikan ini.
            Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah memang cukup meresahkan dengan melontarkan kebijakan berkaitan dengan bahan bakar ini. Premium dan solar yang berkaitan langsung dengan berbagai kebutuhan pokok rakyat ini diwacanakan berkali-kali dan berubah-ubah. Diawali dengan pembatasan untuk kendaraan pribadi, konversi ke bahan bakar gas hingga kini opsi menaikkan tetap maupun membuat harga bbm bersubisdi tidak tetap bergantung dari fluktuasi harga minyak dunia.
            Belakangan ini memang harga minyak mentah dunia merangkak naik. Salah satunya adalah disebabkan pergolakan yang terjadi di timur tengah seperti Suriah dan pergesekan antara Iran dengan Amerika Serikat dan Uni eropa. Kejadian-kejadian ini memang sudah diprediksi akan membuat harga minyak dunia naik dan mungkin akan mencetak rekor tertingginya. Oleh karena itu, pemerintah sedang melakukan kajian untuk mempertahankan agar APBN tidak jebol karena ditakutkan membludaknya subsidi.
            Pemerintah mengatakan bahwa kenaikkan BBM akan membuat pemerintah hemat 25-30 T dan akan dikeluarkan kompensasi berupa BLT sebesar 25 T. ini memperlihatkan tidak ada bedanya naik atau tidaknya bbm untuk APBN, toh besar hematnya juga dikembalikan untuk rakyat. Namun, pemerintah tidak bisa menanggulangi dampak ekonomi langsung seperti kenaikan harga bahan pokok, tranportasi dan pengeluaran lainnya yang membantu kesatabilan ekonomi Indonesia saat ini. Selain itu, kenaikkan ini dapat dipastikan langsung menggangu usaha kecil menengah (UKM) yang mulai bergairah belakangan ini. Pengusaha kecil yang menggunakan tranportasi untuk usahanya seperti travel maupun lainnya dipastikan harus mulai berpikir berkali-kali gara usahanya bisa bertahan. Padahal UKM merupakan lapangan kerja alternatif yang bisa mengurangi pengangguran dan berkontribusi positif untuk perekonomian.
            Pemerintah juga seharusnya melakukan kajian, karena masih banyak daerah yang belom mendapatkan listrik PLN dan menggunakan generator (genset) untuk wilayahnya. Apa jadinya apabila harus dinaikkan harga bahan bakarnya. Pasti akan membuat wilayah tersebut makin tertinggal.
            Pihak yang juga sangat berkeberatan terhadap kenaikan ini adalah nelayan. Nelayan akan sangat kesulitan untuk melaut dengan tingginya harga solar. Dapat dipastikan harga ikan dan makanan laut lainnya pasti melonjak, hal ini bisa berakibat dengan kembali maraknya impor ikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga yang lebih terjangkau. Meningkatnya imopr adalah salah satu penurunan pertumbuhan ekonomi.
            Kenaikkan BBM ini sudah pasti akan membuat rakyat kembali menjerit. BLT yang ditawarkan sebagai kompensasi tidak menjamin akan menyelamatkan rakyat miskin untuk bisa bertahan hidup. Bantuan langsun tunai sebesar Rp. 100 ribu per keluarga per bulan mungkin hampir tidak berpengaruh. Bayangkan saja, apabila keluarga tersebut memiliki 3 orang, kenaikkan tranportasi seribu rupiah per hari, untuk pulang pergi butuh 2 ribu rupiah, berarti dalam sebulan sudah mengalami kenaikan peneluaran sebesar 120ribu rupiah. Angka ini belum termasuk kenaikkan bahan pokok dan kebutuhan lainnya. Apakah tidak lebih baik untuk tidak dinaikkan?
            Pemerintah pada tahun ini mengasumsikan harga minyak mentah pada harga 100 USD per barel dengan kurs Rp.9000,-, saat ini harga minyak mentah dunia sudah berada di harga 110-120 USD per barel. Ini berarti beban subsidi sudah meningkat tajam. Namun, apabila diperhatikan kenaikan 10 USD per barel apabila dikalikan dengan kurs Rp. 9000,- dan dibagi 159 liter/barel , beban kenaikan hanya kurang lebih Rp 500 agak cukup mengherankan apabila dinaikkan 3 kali lipatnya. Kebijakan ini seperti dilandasi kebijakan yang salah. Oleh karena itu, diperlukan kalkulasi dan tranparansi yang jelas kepada publik kenapa bisa dinaikkan sebesar itu.
            Pemerintah sebetulnya tidak perlu menaikkan bbm ini. Pemerintah hanya perlu melakukan efisiensi belanja birokrasi dan pengoptimalisasian pemasukan negara. Tercatat untuk tahun 2005-2012 belanja birokrasi kenaikkannya mencapai 400%. Tahun ini sebesar 733 T, bandingkan dengan subsidi BBM yang hanya naik 29% dan hanya sekitar 123T. terlihat bahwa pemerintah tidak efisien dalam anggaran dan membebankan permasalahannya kepada rakyat. Salah satunya adalah dengan membeli pesawat kepresidenan. Setelah membeli pesawat, saat ini beban APBN dilimpahkan ke rakyat kecil. Sungguh tidak bijak dalam mengelola APBN.
            Selain itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah pengoptimalan pemasukan negara, contoh sederhananya adalah memberantas mafia pajak. Apabila pemerintah bisa melakukan pengoptimalisasian pemasukan melalui sektor pajak saja, sudah cukup untuk menahan subsidi bbm untuk rakyat. Kenaikkan ini menunjukkan juga bahwa pemerintah tidak mau “repot” mengoptimalkan pemasukkan negara lewat pajak dan lebih membebankan kepada rakyat.
            Pemerintah memang seharusnya bisa menunda kenaikan bbm ini. Namun hal ini harus juga didukung oleh masyarakat umum. Masyarakat sudah seharusnya lebih berhemat menggunakan bahan bakar minyak ini, lebih sering menggunakan angkutan umum dan lebih sering menggunakan bahan bakar non subsidi sehingga bbm bersubsidi benar-benar tepat sasaran. Apabila ini dilakukan, pasti kenaikan bbm non subsidi bisa sedikit tertahan.
           
           


(mdskribo)
8 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar